Pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar operasi tangkap tangan (OTT) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih sangat diperlukan. Dia tidak sepakat dengan persepsi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang menganggap OTT tidak baik untuk citra negara.
"Persepsi Pak LBP itu tidak tepat, karena justru OTT itu membersihkan birokrasi dari aparatur yang korup," kata Abdul Fickar saat dihubungi Alinea.id, Kamis (22/12).
Menurut Fickar, korupsi sangat memengaruhi dunia perekonomian yang dikenal sebagai ekonomi biaya tinggi. Di sisi lain, KPK melalui OTT menstimulir semua pihak untuk bermain bersih dan dapat dipastikan akan mengurangi biaya tinggi dan menuju perekonomian yang efisien.
Luhut sebelumnya mendorong digitalisasi atau e-katalog demi terwujudnya transparansi anggaran. Dia menilai, OTT bukan upaya yang baik untuk melawan korupsi.
Namun, menurut Fickar, digitalisasi anggaran sama sekali tidak menghilangkan sifat buruk dari pelaku korupsi dan aparatur negara.
"Karena itu, OTT tetap dibutuhkan," tegasnya.
Senada, pakar komunikasi politik Emrus Sihombing mengatakan e-katalog anggaran bukanlah obat yang mujarab untuk mencegah perilaku korupsi. Menurutnya, digitalisasi hanya sebagai alat bantu mencegah korupsi.
"Sekali lagi digitalisasi bukan solusi tunggal," jelas Emrus kepada Alinea.id, Kamis.
Banyak variabel sosial terlibat dan saling terkait satu dengan yang lain untuk mencegah korupsi. Dua diantaranya ialah penegakan hukum antikorupsi oleh KPK dan keteladanan seorang menteri.
"Seperti jangan sampai kekayaan seorang menteri bertengger signifikan di tengah, dia mencurahkan pikiran, tenaga dan waktu secara total memimpin kementerian dibanding sebelum menteri. Jadi, sangat tidak tepat pendapat mengatakan bahwa jika sudah digitalisasi siapa yang berani melawan korupsi," tandas Emrus.